Sabtu, 11 Juni 2016

HISAB DENGAN KRITERIA WUJUD AL-HILAL DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

Oleh: Drs. H. Dadang Syaripudin, MA.

Pengantar: ber-Tuhan adalah fitrah manusia

Secara fithri, manusia memiliki kecenderungan untuk ber-Tuhan. Kecende-rungan ini akan semakin menguat manakala ia menghadapi persoalan-persoalan hidup yang tidak mampu diatasinya. Dalam ketakberdayaan inilah, manusia mencari-cari sesuatu yang menurutnya lebih besar dan lebih kuat daripada dirinya sehingga dapat membantu dan menolongnya. Sesuatu itu akhirnya diyakini dan dijadikan sebagai Tuhan.
Dalam kepercayaan animisme-dinamisme, benda-benda yang secara fisik lebih besar dan lebih kuat yang ada dilingkungan sekitar manusia dianggap memiliki kekuatan magic. Mulai dari benda mati seperti batu, gunung, laut, sungai sampai ke makhluk hidup seperti pohon-pohon besar, binatang, dan lain sebagainya. Untuk itu diadakanlah upacara-upacara ritual sebagai penyembahan terhadap benda-benda yang dipertuhankan itu.
Dalam agama-agama purbakala, manusia tidak lagi mempertuhankan benda-benda yang ada di muka bumi, tetapi sudah mempertuhankan benda-benda yang ada dilangit, bintang-bintang, matahari dan bulan. Benda-benda langit tadi dianggap sebagai penjelmaan dari dewa-dewi. Kemudian dewa-dewi ini dipersonifikasikan dalam patung-patung, karena yang dipertuhannya banyak, maka sistem ketuhannya selain paganistik (berhala) juga bersifat politeistik.  Untuk itu diadakanlah upacara ritual sebagai penyembahan terhadap benda-benda yang dipertuhankannya. Dari sinilah muncul konsep 1 pekan itu ada 7 hari; diambil dari tujuh benda-benda langit yang dipertuhankan saat itu. Misalnya, Sunday yaitu hari penyembahan dewa matahari; Monday yaitu hari penyembahan dewa bulan; sampai Saturday yaitu hari penyembahan dewa Saturnus.
Fenomena keberagamaan demikian, dikisahkan  al-Quran dalam petualangan Nabi Ibrahim a.s. mencari Tuhan.

Dan (ingatlah) di waktu Ibrahim berkata kepada bapaknya Azar: "Pantaskah kamu menjadikan berhala-berhala sebagai tuhan-tuhan? Sesungguhnya aku melihat kamu dan kaummu dalam kesesatan yang nyata". Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan (Kami yang terdapat) di langit dan bumi, dan (Kami memperlihatkannya) agar Ibrahim itu termasuk orang-orang yang yakin. Ketika malam telah menjadi gelap, dia melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata: "Inilah Tuhanku" Tetapi tatkala bintang itu tenggelam dia berkata: "Saya tidak suka kepada yang tenggelam". Kemudian tatkala dia melihat bulan terbit dia berkata: "Inilah Tuhanku". Tetapi setelah bulan itu terbenam dia berkata: "Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat". Kemudian tatkala dia melihat matahari terbit, dia berkata: "Inilah Tuhanku, ini yang lebih besar", maka tatkala matahari itu telah terbenam, dia berkata: "Hai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan. Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan. (Q.S. al-An`am, 6: 74-79)

Setelah Nabi Ibrahim itulah, agama-agama samawi yang  bersifat monotheistic diturunkan yaitu: Yahudi, Nashrani dan Islam. Tidak lagi mempertuhankan benda-benda tersebut, juga tidak mengenal dewa-dewi tetapi hanya bertuhankan kepada  Pencipta alam dan termasuk benda-benda yang dipertuhankan manusia saat itu. Akantetapi dalam perkembangannya, agama Yahudi dan Nashrani pun masih banyak dipengaruhi oleh mitos-mitos agama-agama dan kepercayaan-kepercayaan manusia sebelumnya. Dalam agama yahudi, peribadatannya itu pada hari Sabtu, terjait dengan kepercayaan bahwa tuhan menciptakan langit dan bumi selama 6 hari, pada hari ke-7 tuhak kecapaian, bersitirahat dan untuk itu dilakukanlah upacara ritual. Demikian pula agama Nashrani, ritualnya dilakukan pada hari minggu, konon nama itu diambil dari dewa dominggos (Portugal).
Islam, relative tidak banyak dipengaruhi mitos-mitos itu. Konsep 7 hari, masih dipakai dalam Islam, hanya namanya saja yang diubah, dan cukup disebut hari pertama, kedua sampai ketujuh; ahad, itsnayn, tsulasa, arba`, khamis, jum`ah, dan sabt. Kecuali hari keenam, disebut Jum`at karena pada hari itu orang serempak pada suatu waktu dan tempat tertentu untuk beribadah, shalat jum`ah. Dalam Islam, benda-benda langit tadi, khususnya matahari dan bulan tidak lagi dijadikan objek sembahan, atau sebagai penyebab adanya peribadatan, melainkan hanya sebagai pertanda waktu dimualai dan diakhirinya suatu peribadatan.


Dan sebagian dari tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah malam, siang, matahari dan bulan. Janganlah bersujud kepada matahari dan janganlah (pula) kepada bulan, tetapi bersujudlah kepada Allah Yang menciptakannya, jika kamu hanya kepada-Nya saja menyembah. (Q.S. Fushilat, 41: 37)


Apakah kamu tiada mengetahui, bahwa kepada Allah bersujud apa yang ada di langit, di bumi, matahari, bulan, bintang, gunung, pohon-pohonan, binatang-binatang yang melata dan sebagian besar daripada manusia? Dan banyak di antara manusia yang telah ditetapkan azab atasnya. Dan barangsiapa yang dihinakan Allah maka tidak seorangpun yang memuliakannya. Sesungguhnya Allah berbuat apa yang Dia kehendaki. (Q.S. al-Hajj, 22: 18)

Waktu dan Tempat Pelaksanan Peribadatan

Peribadatan dalam Islam, khususnya shalat, shaum dan haji harus dilaksanakan dalam waktu-waktu yang sudah ditentukan.


Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman (Q.S. Al-Nisa, 4: 103).


Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa … (183)  (yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu … (184)  (beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran ... Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (sehat dan berada di tempat tinggalnya) pada bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, … (185) … (186)  Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; … dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, … (187)


Haji itu pada bulan-bulan tertentu (Q.S. al-Baqarah: 197).

Bahkan untuk ibadah haji hanya bisa dilakukan di Tanah Suci, sementara pelaksanaan shalat harus menghadap ke arah Qiblat.


Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) tempat berdiri Ibrahim ketika membangun Ka`bah; barangsiapa memasukinya, maka ia aman. Ibadah haji itu adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah (Q.S. Ali Imran, 3: 97)


Ketika kami memberikan tempat kepada Ibrahim di Baitullah, (seraya berkata): Janganlah kamu menyekutukan-Ku dengan sesuatupun dan sucikanlah rumah-Ku ini bagi orang-orang yang thawaf, orang-orang yang beribadat,  dan orang-orang yang ruku' serta sujud. Panggillah manusia untuk beribadah haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh (Q.S. al-Hajj, 22: 26-27)


Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. (Q.S. al-Baqarah, 2: 144).

Allah telah menjadikan Ka`bah, rumah suci itu sebagai pusat (peribadatan dan urusan dunia) bagi manusia, dan (demikian pula) bulan Haram, hadya, dan qalaid. (Q.S. Al-Maidah, 5: 97).

Tidak hanya shalat, shaum dan haji saja,  dzikir dan do`a pun ada yang dianjurkan untuk dibaca pada waktu-waktu tertentu, yaitu di pagi hari menjelang siang tiba atau sore hari menjelang malam tiba.


Maka sabarlah kamu atas apa yang mereka katakan, dan bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu (shalat), sebelum terbit matahari dan sebelum terbenamnya dan bertasbih pulalah pada waktu-waktu di malam hari dan pada waktu-waktu di siang hari, supaya kamu merasa senang. (Q.S. Thaha: 130)

Maka bersabarlah kamu terhadap apa yang mereka katakan dan bertasbihlah sambil memuji Tuhanmu (shalat) sebelum terbit matahari dan sebelum terbenam (nya). (Q.S. Qaf: 39).


Hai orang-orang yang beriman, berzdikirlah (dengan menyebut nama) Allah, zikir yang sebanyak-banyaknya dan bertasbihlah kepada-Nya diwaktu pagi dan petang. (Q.S. al-Ahzab, 33: 41-42)


Supaya kamu sekalian beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, menguatkan (agama)Nya, membesarkan-Nya. dan bertasbih kepada-Nya di waktu pagi dan petang (Q.S. al-Fath, 48:9)


Sebutlah nama Tuhanmu pada (waktu) pagi dan petang, dan  pada sebagian dari malam,  sujudlah kepada-Nya dan bertasbihlah kepada-Nya pada bagian yang panjang dimalam hari. (Q.S. al-Insan, 76: 25-26)


Lebih dari itu berperang sekalipun, mengenal batas waktu, kapan saja boleh berperang

Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah: Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar; tetapi menghalangi (manusia) dari jalan Allah, kafir kepada Allah, (menghalangi masuk) Masjidilharam dan mengusir penduduknya dari sekitarnya, lebih besar (dosanya) di sisi Allah. Adapun  fitnah  (penganiyaan dan penindasan)  itu lebih besar (dosanya) daripada membunuh.  (Q.S. al-Baqarah: 217)

Jika bulan-bulan haram itu sudah berlqalu, bunuhlah orang-orang musyrik itu di mana saja kamu jumpai mereka. Tangkap,  kepung dan intailah ditempat pengintaian. (Q.S. al-Tawbah, 9: 5).

Waktu-waktu Shalat

Waktu pelaksanaan shalat ditentukan oleh posisi matahari terlihat dari bumi yang ditempati oleh orang yang akan melaksanakannya.
ÉOÏ%r&ur no4qn=¢Á9$# ÇnûtsÛ Í$pk¨]9$# $Zÿs9ãur z`ÏiB È@ø©9$# 4  ÇÊÊÍÈ
Dirikanlah shalat itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada bahagian permulaan daripada malam. (Q.S. Hud, 11: 114).

ÉOÏ%r& no4qn=¢Á9$# Ï8qä9à$Î! ħôJ¤±9$# 4n
Dirikanlah shalat mulai saat matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (Q.S. al-Isra: 78).

Ketentuan waktu pelaksanaan shalat sebagai yang disebutkan dalam kedua ayat al-Quran diatas, dipertegas dan dirinci dalam al-Sunnah.

عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ بُرَيْدَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ رَجُلًا سَأَلَهُ عَنْ وَقْتِ الصَّلَاةِ فَقَالَ لَهُ صَلِّ مَعَنَا هَذَيْنِ يَعْنِي الْيَوْمَيْنِ فَلَمَّا زَالَتْ الشَّمْسُ أَمَرَ بِلَالًا فَأَذَّنَ ثُمَّ أَمَرَهُ فَأَقَامَ الظُّهْرَ ثُمَّ أَمَرَهُ فَأَقَامَ الْعَصْرَ وَالشَّمْسُ مُرْتَفِعَةٌ بَيْضَاءُ نَقِيَّةٌ ثُمَّ أَمَرَهُ فَأَقَامَ الْمَغْرِبَ حِينَ غَابَتْ الشَّمْسُ ثُمَّ أَمَرَهُ فَأَقَامَ الْعِشَاءَ حِينَ غَابَ الشَّفَقُ ثُمَّ أَمَرَهُ فَأَقَامَ الْفَجْرَ حِينَ طَلَعَ الْفَجْرُ فَلَمَّا أَنْ كَانَ الْيَوْمُ الثَّانِي أَمَرَهُ فَأَبْرَدَ بِالظُّهْرِ فَأَبْرَدَ بِهَا فَأَنْعَمَ أَنْ يُبْرِدَ بِهَا وَصَلَّى الْعَصْرَ وَالشَّمْسُ مُرْتَفِعَةٌ أَخَّرَهَا فَوْقَ الَّذِي كَانَ وَصَلَّى الْمَغْرِبَ قَبْلَ أَنْ يَغِيبَ الشَّفَقُ وَصَلَّى الْعِشَاءَ بَعْدَمَا ذَهَبَ ثُلُثُ اللَّيْلِ وَصَلَّى الْفَجْرَ فَأَسْفَرَ بِهَا ثُمَّ قَالَ أَيْنَ السَّائِلُ عَنْ وَقْتِ الصَّلَاةِ فَقَالَ الرَّجُلُ أَنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ وَقْتُ صَلَاتِكُمْ بَيْنَ مَا رَأَيْتُمْ (صحيح مسلم، 1\ 428)
Dari Sulayman ibn Buraydah dari bapaknya dari Nabi saw.: Bahwasanya ada seseorang yang bertanya kepadanya tentang waktu shalat. Nabi menjawab: Shalatlah bersama kami pada dua ini, yakni 2 hari. Ketika matahari tergelincir ia menyuruh Bilal, lalu Bilal adzan

عن ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَمَّنِي جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلَام عِنْدَ الْبَيْتِ مَرَّتَيْنِ فَصَلَّى الظُّهْرَ فِي الْأُولَى مِنْهُمَا حِينَ كَانَ الْفَيْءُ مِثْلَ الشِّرَاكِ ثُمَّ صَلَّى الْعَصْرَ حِينَ كَانَ كُلُّ شَيْءٍ مِثْلَ ظِلِّهِ ثُمَّ صَلَّى الْمَغْرِبَ حِينَ وَجَبَتْ الشَّمْسُ وَأَفْطَرَ الصَّائِمُ ثُمَّ صَلَّى الْعِشَاءَ حِينَ غَابَ الشَّفَقُ ثُمَّ صَلَّى الْفَجْرَ حِينَ بَرَقَ الْفَجْرُ وَحَرُمَ الطَّعَامُ عَلَى الصَّائِمِ وَصَلَّى الْمَرَّةَ الثَّانِيَةَ الظُّهْرَ حِينَ كَانَ ظِلُّ كُلِّ شَيْءٍ مِثْلَهُ لِوَقْتِ الْعَصْرِ بِالْأَمْسِ ثُمَّ صَلَّى الْعَصْرَ حِينَ كَانَ ظِلُّ كُلِّ شَيْءٍ مِثْلَيْهِ ثُمَّ صَلَّى الْمَغْرِبَ لِوَقْتِهِ الْأَوَّلِ ثُمَّ صَلَّى الْعِشَاءَ الْآخِرَةَ حِينَ ذَهَبَ ثُلُثُ اللَّيْلِ ثُمَّ صَلَّى الصُّبْحَ حِينَ أَسْفَرَتْ الْأَرْضُ ثُمَّ الْتَفَتَ إِلَيَّ جِبْرِيلُ فَقَالَ يَا مُحَمَّدُ هَذَا وَقْتُ الْأَنْبِيَاءِ مِنْ قَبْلِكَ وَالْوَقْتُ فِيمَا بَيْنَ هَذَيْنِ الْوَقْتَيْنِ (سنن الترمذي، 1\ 279)

Waktu Pelaksanaan Shaum Ramadhan
Berbeda dengan waktu pelaksanaan shalat, waktu pelaksanaan shaum Ramadhan ditentukan oleh bulan dan matahari sekaligus, terlihat dari bumi tempat orang yang akan melaksanakannya. Penampakan bulan untuk pertamakalinya –  yang selanjutnya disebut hilal—menunjukkan awal dan kahir bulan Ramadhan dan ter
Haji

* tRqè=t«ó¡o Ç`tã Ï'©#ÏdF{$# ( ö@è% }Ïd àMÏ%ºuqtB Ĩ$¨Y=Ï9 Ædkysø9$#ur 3 ÇÊÑÒÈ

Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji. (Q.S. al-Baqarah, 2: 189)

Ketentuan waktu-waktu peribadatan sebagai yang disebutkan dalam ayat-ayat al-Quran diatas, dipertegas dan dirinci dalam al-Sunnah.

Bulan dan matahari


إن عدة الشهور عند الله اثنا عشر شهرا في كتاب الله يوم خلق السموات والأرض منها أربعة حرم ذلك الدين القيم

Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus (Q.S. al-Tawbah: 36)

وءاية لهم الليل نسلخ منه النهار فإذا هم مظلمون  والشمس تجري لمستقر لها ذلك تقدير العزيز العليم(38)والقمر قدرناه منازل حتى عاد كالعرجون القديم  لا الشمس ينبغي لها أن تدرك القمر ولا الليل سابق النهار وكل في فلك يسبحون
Dan suatu tanda (kekuasaan Allah yang besar) bagi mereka adalah malam; Kami tanggalkan siang dari malam itu, maka dengan serta merta mereka berada dalam kegelapan, dan matahari berjalan di tempat peredarannya. Demikianlah ketetapan Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui. Tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan bulan dan malampun tidak dapat mendahului siang. Dan masing-masing beredar pada garis edarnya. (Q.S. Yasin: 38- 40)
وجعل القمر فيهن نورا وجعل الشمس سراجا
Dan Allah menciptakan padanya bulan sebagai cahaya dan menjadikan matahari sebagai pelita? (Q.S. Nuh: 16)
فالق الإصباح وجعل الليل سكنا والشمس والقمر حسبانا ذلك تقدير العزيز العليم
Dia menyingsingkan pagi dan menjadikan malam untuk beristirahat, dan (menjadikan) matahari dan bulan untuk perhitungan. Itulah ketentuan Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui. (Q.S. al-An`am: 96)
إن ربكم الله الذي خلق السموات والأرض في ستة أيام ثم استوى على العرش يغشي الليل النهار يطلبه حثيثا والشمس والقمر والنجوم مسخرات بأمره ألا له الخلق والأمر

Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas `Arsy. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang (masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. (Q.S. al-`Araf: 54)

وسخر لكم الليل والنهار والشمس والقمر والنجوم مسخرات بأمره

Dan Dia menundukkan malam dan siang, matahari dan bulan untukmu. Dan bintang-bintang itu ditundukkan (untukmu) dengan perintah-Nya. (Q.S. al-Nahl: 12)
وهو الذي خلق الليل والنهار والشمس والقمر كل في فلك يسبحون
Dan Dialah yang telah menciptakan malam dan siang, matahari dan bulan. Masing-masing dari keduanya itu beredar di dalam garis edarnya. (Q.S. al-Anbiya: 33)


هو الذي جعل الشمس ضياء والقمر نورا وقدره منازل لتعلموا عدد السنين والحساب
Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). (Q.S. Yunus: 5)
الله الذي رفع السموات بغير عمد ترونها ثم استوى على العرش وسخر الشمس والقمر كل يجري لأجل مسمى

Allah-lah Yang meninggikan langit tanpa tiang (sebagaimana) yang kamu lihat, kemudian Dia bersemayam di atas `Arsy, dan menundukkan matahari dan bulan. Masing-masing beredar hingga waktu yang ditentukan. (Q.S. al-Ra`d: 2)

وسخر لكم الشمس والقمر دائبين وسخر لكم الليل والنهار
Dan Dia telah menundukkan (pula) bagimu matahari dan bulan yang terus menerus beredar (dalam orbitnya); dan telah menundukkan bagimu malam dan siang. (Q.S. Ibrahim: 33).

ألم تر إلى ربك كيف مد الظل ولو شاء لجعله ساكنا ثم جعلنا الشمس عليه دليلا

Dan Dia telah menundukkan (pula) bagimu matahari dan bulan yang terus menerus beredar (dalam orbitnya); dan telah menundukkan bagimu malam dan siang. (Q.S. al-Furqan: 45)
ألم تر أن الله يولج الليل في النهار ويولج النهار في الليل وسخر الشمس والقمر كل يجري إلى أجل مسمى
Tidakkah kamu memperhatikan, bahwa sesungguhnya Allah memasukkan malam ke dalam siang dan memasukkan siang ke dalam malam dan Dia tundukkan matahari dan bulan masing-masing berjalan sampai kepada waktu yang ditentukan, dan sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Q.S. Luqman: 29)
يولج الليل في النهار ويولج النهار في الليل وسخر الشمس والقمر كل يجري لأجل مسمى
Dia memasukkan malam ke dalam siang dan memasukkan siang ke dalam malam dan menundukkan matahari dan bulan, masing-masing berjalan menurut waktu yang ditentukan. (Q.S. Fathir: 13).
خلق السموات والأرض بالحق يكور الليل على النهار ويكور النهار على الليل وسخر الشمس والقمر كل يجري لأجل مسمى
Dia menciptakan langit dan bumi dengan (tujuan) yang benar; Dia menutupkan malam atas siang dan menutupkan siang atas malam dan menundukkan matahari dan bulan, masing-masing berjalan menurut waktu yang ditentukan. Ingatlah Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Pengampun. (Q.S. al-Zumar: 5)
الشمس والقمر بحسبان

Matahari dan bulan (beredar) menurut perhitungan. (Q.S. al-Rahman: 5).


Pindah ke makalah hisab muhammadiyah

Penentuan waktu peribadatan pada masa Rasulullah
Di masa Rasulullah saw bahkan sampai masa imam-imam madzhab fiqh,  waktu-waktu peribadatan tersebut, seluruhnya hanya dapat diketahui secara yakin melalui pengamatan langsung terhadap posisi matahari dan bulan.

Adzan zhuhur baru dikumandangkan misalnya, setelah muadzin terlebih dahulu melihat langsung dengan mata kepala posisi matahari telah bergeser ke sebelah barat. Demikian seterusnya, ashar, maghrib, isya dan subuh, sebagai yang sudah dijelaskan oleh Rasulullah saw.
Demikian pula halnya awal bulan Ramadhan, Syawwal dan Dzulhijjah hanya bis diketahui secara yakin, setelah hilal (penampakan bulan untuk pertamakalinya) tampak terlihat oleh mata kepala. Akan tetapi untuk futhur (buka) dan syahur, khususnya selama menjalani ibadah shaum Ramadhan itu ditentukan oleh posisi matahari sama dengan waktu pelaksanaan shalat maghrib dan shubuh.
Hisab dalam arti ilmu falak (astronomi terapan) bukan ilmu nujum (astrologi), sama sekali belum dikenal pada masa Rasulullah saw, karena itu tidak dapat disangkal lagi  hisab memang belum digunakan; dikenal saja belum, apalagi digunakan.
Jika kenyataannya demikian, tidakah hisab itu bid`ah?
Memang diakui, yang pernah dipakai dasar penetapan awal bulan oleh  Rasulullah hanyalah rukyat atau istikmal, bukan hisab. Akan tetapi tidak berarti harus dengan rukyat atau istikmal saja, hisab  tidak boleh. Hisab tidak atau belum digunakan pada saat itu, bukan karena hisab tidak boleh digunakan. Pada saat itu, kemampuan atau keterampilan hisabnya yang belum dimiliki. Jangankan ilmu hisab dengan proses perhitungan yang rumit, kemampuan berhitung angka saja masih sangat terbatas. Hal ini sebagai yang diakui oleh Rasulullah saw. sendiri dalam sabdanya: "Inna Ummat ummiyah la naktub wala nahsub".
Lain lagi persoalannya, jika pada masa itu ilmu hisab (ilmu falaq) sudah dikuasai oleh Rasulullah bersama para shahabat, maka tidak digunakannya ilmu hisab untuk penentuan waktu-waktu peribadatan menjadi satu ketetapan; penggunaan ilmu hisab menjadi bid`ahyang, karenanya menjadi terlarang digunakan dalam penentuan waktu-waktu peribadatan.
Atas perihal yang sama, kasus pengkodifikasian al-Quran dalam bentuk mushaf atau buku yang dicetak, bahkan dewasa ini dalam bentuk digital. Padahal di zaman Rasulullah saw. Al-Quran tidak dikodifikasikan dan beliau pun tidak juga memerintahkannya. Apakah kodifikasi al-Quran dalam bentuk mushaf menjadi terlarang? 
Kodifikasi al-Quran belum ada, tetapi para shahabat sudah diperintahkan untuk membaca al-Quran. Memang, kegiatan membaca al-Quran pada saat itu, bukan melihat hurup-hurup yang tertulis dalam lembaran mushaf. Akan tetapi melafalkan ayat-ayat al-Quran yang sebelumnya sudah dihapal terlebih dahulu. Haruskah saat ini,  ayat demi ayat dan surat demi surat dihapal terlebih dahulu, baru kemudian dibaca? Apakah sekarang tidak boleh cukup dengan membuka lembaran-lembaran mushaf lalu membacanya, tanpa hapal terlebih dahulu?
Kodifikasi al-Quran belum dilakukan di zaman Rasulullah saw, bukan karena al-Quran tidak boleh dikodifikasikan. Akan tetapi untuk itu belum dimungkinkan dan memang belum begitu diperlukan. Untuk terpeliharanya kemurnian al-Quran, sekaligus ajaran Islam pada saat itu, dan memang belum diperlukan pengkodifikasian al-Quran. Karena pada masa itu: 1) Rasulullah saw masih hidup yang, atas jaminan Allah apa yang telah diwahyukan kepadanya, ia tidak akan lupa[1]; 2) Proses pewahyuan masih berjalan dan Malaikat Jibril senantiasa memeriksa bacaan Rasulullah saw[2]; 3) Para shahabat banyak yang hapal al-Quran, konon orang Arab dikenal sangat kuat hapalannya; dan 4) Kemampuan, media dan perlengkapan untuk kodifikasi belum cukup memadai.
Sepeningal Rasulullah – lebih-lebih saat ini --, kondisi sudah berubah sedemikian rupa, ketiga hal di atas sudah tidak ada lagi dan kemampuan, media dan perlengkapan kodifikasi sudah tersedia lebih dari cukup. Kodifikasi al-Quran hampir-hampir menjadi satu keniscayaan untuk terpeliharanya kemurnian al-Quran dan sekaligus ajaran Islam.
Lalu apa  dasar hukumnya al-Quran itu dikodifikasikan, sebagaimana pula apa dasar hukumnya hisab dalam penentuan waktu-waktu peribadatan khususnya 1 Ramadhan, 1 Syawwal dan 10 Dzulhijjah ? Alasan-alasan sebagaimana yang disebutkan di atas, dalam ilmu ushul fiqh disebut dengan istishlah atau mashlahat al-mursalah yang banyak dikembangkan terutama di madzhab Maliki[3].
Sejalan dengan itu, realitas ummat Islam dewasa ini, khususnya di Indonesia pada dasarnya sudah menggunakan hisab dalam penentuan waktu-waktu peribadatan, sekalipun belum dikui secara sepakat memiliki kedudukan hukum yang sama dengan rukyat (pengamatan mata kepala). Ibadah shalat yang penentuannya berdasarkan posisi matahari terlihat dari bumi, saat ini barangkali sudah tidak ada lagi yang adzan/shalat melihat matahari. Hampir semua masjid di Indonesia dewasa ini mengumandangkan adzan berpatokan pada jam dan jadwal waktu shalat yang notabene merupakan produk hisab, sebagaimana halnya dalam penentuan arah kiblat. Demikian pula dengan futhur (buka) dan syahur/imsak ibadah shaum Ramadhan, hampir semuanya sudah menggunakan produk hisab.
Persoalannya yang tertinggal adalah waktu-waktu yang ditentukan berdasarkan posisi (manjilah) bulan, yaitu dalam penentuan awal Ramadhan, Syawal dan Dzulhijjah; belum seluruhnya sepakat menggunakan produk hisab. Hal ini menjadi satu keunikan -- kalau tidak disebut sebagai sebuah kejanggalan -- manakala buka dan imsak shaum setiap harinya diakui atau tidak mau menggunakan hisab, tetapi mengawali (1 Ramadhan) dan mengakhirinya (1 Syawal) ibadah shaum Ramadhan itu harus berdasarkan rukyat al-hilal, tidak mau menerima produk hisab.
Keunikan di atas menjadi wajar, bilamana dilihat dari perspektif kajian hukum Islam (baca: ushul fiqh) karena secara zhahir al-Sunnah memerintahkannya demikian. 


Kedudukan Hisab
Kriteria Wujud al-Hilal


Refleksi Ke masa Rasulullah

29 Hari lebih banyak daripada 30 hari

Rasulullah saw shaum di bulan Ramadhan lebih banyak 29 hari daripada 30 hari, berdasarkan hadits dari Siti `Aisyah, Ibn Mas`ud, Jabir dan Abu Hurayrah berikut ini:

  1. عن سعيد بن العاص قال ذكر عائشة صوم شهر رمضان تسع وعشرين يوما فتعجب من ذلك فقالت عائشة وما يعجبكم من ذلك فما صمت مع  رسول الله  صلى الله عليه وسلم  تسعا وعشرين أكثر مما صمت ثلاثين (مسند الطيالسي:1\ 217؛ مسند أحمد: 6\81، 90؛ المعجم الطبراني الأوسط: 5\257؛ سنن الدارقطني: 2\ 198؛ سنن البيهقي الكبرى: 4\ 250؛ )
  2. عن عبد الله بن مسعود رضي الله عنه يقول ثم ما صمت مع  رسول الله  صلى الله عليه وسلم  تسعا وعشرين أكثر مما صمت معه ثلاثين (1 مسند أحمد: \397، 408، 450؛ المعجم الطبراني الكبير: 1\ 222، 10\ 82؛ المعجم الطبراني الأوسط: 3\ 212، 4\109؛ المعجم الطبراني الصغير: 1\449؛ سنن الدارقطني: 2\ 198؛ سنن الترمذي: 3\73؛سنن أبي داود: 2\ 297؛ صحيح ابن خزيمة: 3\ 208؛   )
  3. عن جابر قال لا تقولوا نقص الشهر لقد صمنا مع رسول الله صلى الله عليه وسلم تسعا وعشرين اكثر مما صمنا ثلاثين(المعجم الطبراني الأوسط: 5\ 325)
  4. عن أبي هريرة قال ما صمنا مع رسول الله صلى الله عليه وسلم تسعا وعشرين أكثر مما صمنا ثلاثين (المعجم الطبراني الأوسط: 6\307)
Berdasarkan hadits di atas, jumlah hari bulan Ramadhan pada zaman Rasulullah dalam rentangan waktu kurang dari 10 tahun (dari tahun ke-2 H. sampai tahun ke-10 H.) lebih banyak 29 hari daripada 30 hari.

Jumlah Hari Bulan Ramadhan di Zaman Rasulullah
Berdasarkan hasil hisab dalam Kriteria Wujud al-Hilal dan Imkan al-Rukyat

tahun
wujud
al-hilal
IMKAN AL-RUKYAT


MABIM  2°
LAPAN
ILYAS
2 H / 624 M
25 Feb – 25 Mar = 30 hari
26 Feb – 25 Mar = 29 hari
26 Feb  – 25 Mar = 29 hari
26 Feb – 26 Mar = 30 hari
3 H / 625 M
14 Feb – 14 Mar = 29 hari
14 Feb – 15 Mar = 30 hari
14 Feb – 15 Mar = 30 hari
15 Feb – 15 Mar = 29 hari
4 H / 626 M
4 Feb – 4 Mar    = 29 hari
4 Feb – 4 Mar    = 29 hari
4 Feb – 4 Mar
29 hari
4 Feb – 5 Mar
30 hari
5 H / 627 M
24 Jan – 22 Feb  = 30 hari
24 Jan – 22 Feb  = 30 hari
24 Jan – 22 Feb
30 hari
25 Jan – 22 Feb
29 hari
6 H / 628 M
14 Jan – 11 Feb  = 29 hari
14 Jan – 12 Feb  = 29 hari
14 Jan – 12 Feb
30 hari
14 Jan – 12 Feb
29 hari
7 H / 629 M
2 Jan – 30 Jan    = 29 hari
2 Jan – 31 Jan    = 30 hari
2 Jan – 31 Jan
30 hari
2 Jan – 31 Jan
30 hari
8 H / 629 M
22 Des – 19 Jan = 29 hari
22 Des – 20 Jan = 30 hari
22 Des – 20 Jan
30 hari
22 Des – 20 Jan
30 hari
9 H / 630 M
11 Des – 8 Jan   = 29 hari
11 Des – 9 Jan   = 30 hari
11 Des – 9 Jan
30 hari
11 Des – 9 Jan
30 hari
10 H/631 M
30 Nov – 29 Des = 30 hari
1 Des – 29 Des   = 29 hari
1 Des – 29 Des
29 hari
1 Des – 29 Des
29 hari
Jml. 29 : 30
6 : 3
4 : 5
3 : 6
3 : 6

Ijtima' 24 Februari 624 pukul 09:09 UT (12:09 Waktu Madinah/WM). 
Saat maghrib di Madinah, umur bulan < 8 jam.
Menurut wujudul hilal: 1 Ramadhan 2H = 25 Feb 624.
Menurut kriteria MABIMS/LAPAN/ILYAS: 1 Ramadhan 2H = 26 Feb 624

Sumber: Hasil Perhitungan Astronomi oleh: Dr. T. Djamaluddin
dari Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) Bandung.
t_djamal@bdg.lapan.go.id, t_djamal@hotmail.com http://media.isnet.org/isnet/Djamal/


[1] Baca: Q.S. al-`Ala, 87: 6-7

[2] Disebutkan dalam sebuah riwayat, pengecekkan bacan al-Quran Nabi dilakukan oleh Malaikat Jibril setiap bulan Ramadhan.

[3] Untuk lebih jauh, baca: Abu Ishaq al-Syathibi (790). Al-Muwafaqat fi Ushul al-Fiqh. Bayrut: Dar al-Ma`rifah. (4 juz). Tahqiq: `Abd Allah Daraz. Juz III. Hlm. 74.

HADITS-HADITS TENTANG RU'YAT, ISTIQDAR DAN ISTIKMAL DALAM PENETAPAN AWAL DAN AKHIR RAMADHAN

Oleh: Dadang Syaripudin
Pendahuluan
Pelaksanaan peribadatan dalam Islam, khususnya ibadah mahdhah sudah ditentukan waktu dan tempatnya. Penetapan waktu-waktu tersebut didasarkan atas posisi  bulan atau matahari terlihat dari bumi. Untuk mengawali dan mengakhiri ibadah shaum Ramadhan misalnya, ditetapkan berdarkan posisi bulan terlihat dari bumi. Sedangkan  batas waktu hariannya (imsak – ifthar), ditetapkan berdasarkan posisi matahari terlihat dari bumi, dianalogkan dengan waktu shalat shubuh dan maghrib.
Untuk mengetahui posisi bulan dan matahari tersebut dalam kaitannya dengan pelaksanaan ibadah shaum Ramadhan khususnya, dijelaskan dalam sejumlah periwayatan hadits yang beragam baik sanad maupun matannya, serta terkodifikasikan dalam beberapa kitab hadits standard.

  1. `Abdullah ibn 'Umar, r.a. dengan rawi-rawi:
1) Malik ibn Anas (93-179);
2) `Abd al-Razaq(126-211);
3) Muhammad ibn Idris al-Syafi'I (150-204);
4) Ahmad ibn Hanbal (164-267);
5) Abu Bakr ibn Abi Syaybah (159-235); 
6) Abu Muhammad al-Darimi (181-255);
7) Muhammad ibn Isma`il al-Bukhari (194-256);
8) Abu Dawud al-Sijistani (202-275);
9) Muslim ibn al-Hajaj (206-261);
10) Muhammad ibn Yazid al-Qazwini, Ibn Majah (207-275);
11) Abu Ya`la, Ahmad ibn Ali ibn al-Mutsanna (210-307);
12) Ahmad ibn Syu`ayb al-Nasa'i (215-303);
13) Muhammad ibn Ishaq ibn Khuzaymah (223-311);
14) Muhammad ibn Hiban (w. 354); 15) Ali ibn `Umar al-Daruquthni (306-385);  
16) Muhammad ibn `Abd Allah al-Hakim (321-405); dan
17) Ahmad ibn al-Husayn Abu Bakr al-Bayhaqi (384-358).

  1. `Abdullah ibn `Abbas, r.a. dengan rawi-rawi :
1) Malik ibn Anas (93-179);
2) `Abd al-Razaq (126-211);
3) Abu Dawud al-Thayalisi (w. 204);
4) `Abd Allah ibn al-Zubayr al-Humyadi (W. 219);
5) `Ali ibn al-Ja`d al-Baghdadi (134-230);
6) Aòmad ibn Òanbal (164-267);
7) `Abd Allah ibn `Abd al-Rahman al-Darimi (181-255);
8) Al-Harits ibn Abi Utsamah (186-282);
9) Abu Dawud al-Sijistani (202 – 275);
10) Muslim ibn al-Òajaj al-Naysâbûrî (206-261);
11) Abu Isa al-Turmudzi (209-279);
12) Abu Ya`la Ahmad ibn Ali ibn al-Mutsanna (210-307);
13) Ahmad ibn Syuayb al-Nasa'i (215-303);
14) Muhammad ibn Ishaq ibn Khuzaymah (223-311);
15) Muhammad ibn Hiban (w. 354);
16) Sulayman ibn Ahmad Al-Thabrani (260-360);
17) `Ali ibn `Umar al-Daruquthni (306-385);
18) Muhammad ibn `Abd Allah al-Hakim (321-405); dan
19) Ahmad ibn al-Husayn, Abu al-bakr al-Bayhaqi (384-458).

  1. Abu Hurayrah, r.a.  dengan rawi-rawi:
1) `Abd al-Razaq (126-211);
2) `Ali ibn al-Ja`d al-Baghdadi (134-230);
3) Muhammad ibn Idris al-Syafi'I (150-204);
4) Abu Dawud al-Thayalisi (w. 204);
5) Ibnu Rahawayh, Ishaq ibn Ibrahim (161-238);
6) Aòmad ibn Òanbal (164-267);
7) Abu Bakr ibn Abi Syaybah (159-235); 
8) Abu Muhammad al-Darimi (181-255);
9) Muhammad ibn Isma`il al-Bukhari (194-256);
10) Muslim ibn al-Òajaj al-Naysâbûrî (206-261);
11) Muhammad ibn Yazid al-Qazwini (207 – 275);
12) Abu Isa al-Turmudzi (209-279);
13) Abu Ya`la Ahmad ibn Ali ibn al-Mutsanna (210-307);
14) `Abd Allah ibn `Ali ibn al-Jarud (w.307);
15) Ahmad ibn Syuayb al-Nasa'i (215-303);
16) Muhammad ibn Ishaq ibn Khuzaymah (223-311);
17) Muhammad ibn Hiban (w. 354);
18) Sulayman ibn Ahmad Al-Thabrani (260-360);
19) `Ali ibn `Umar al-Daruquthni (306-385); dan
20) Ahmad ibn al-Husayn, Abu al-bakr al-Bayhaqi (384-458).

  1. `Aisyah r.a., dengan rawi-rawi:
1) Abu Dawud al-Sijistani (202 – 275);
2) Muhammad ibn Ishaq ibn Khuzaymah (223-311);
3) `Ali ibn `Umar al-Daruquthni (306-385); dan
4) Ahmad ibn al-Husayn, Abu al-bakr al-Bayhaqi (384-458).

  1. Huzhaifah r.a. dengan rawi-rawi:
1) Abu Dawud al-Sijistani (202 – 275);
2) Muhammad ibn Ishaq ibn Khuzaymah (223-311);
3) Muhammad ibn Hiban (w. 354); dan
4) Ahmad ibn al-Husayn, Abu al-Bakr al-Bayhaqi (384-458).

  1. Thalaq ibn `Ali, r.a. dengan rawi-rawi:
1) Aòmad ibn Òanbal (164-267);
2) Sulayman ibn Ahmad Al-Thabrani (260-360);
3) `Ali ibn `Umar al-Daruquthni (306-385); dan
4) Ahmad ibn al-Husayn, Abu al-Bakr al-Bayhaqi (384-458).

  1. Jabir ibn `Abd Allah, r.a. dengan rawi:
1) Abu Ya`la Ahmad ibn Ali ibn al-Mutsanna (210-307); dan
2) Ahmad ibn al-Husayn, Abu al-bakr al-Bayhaqi (384-458)

  1. `Umar ibn al-Khathab r.a. dengan rawi:
Ahmad ibn al-Husayn, Abu al-Bakr al-Bayhaqi (384-458)

  1. Abu Sa`id al-Khudri, r.a. dengan rawi:
Al-Rabi` ibn Habib ibn `Umar al-Azda.

10.  Al-Hasan, r.a. dengan rawi:
`Abd al-Razaq (126-211).

11.  Abu Bakrah, r.a. dengan rawi:
1) Abu Dawud al-Thayalisi (w. 204);
2) Aòmad ibn Òanbal (164-267); dan
3)Ahmad ibn al-Husayn, Abu al-bakr al-Bayhaqi (384-458).

12.   Rafi ibn Khudayj r.a. dengan rawi:
`Ali ibn `Umar al-Daruquthni (306-385).

13.  Ash-hab Muhammad Rasulullah saw. dengan rawi-rawi:
1) Al-Harits ibn Abi Utsamah (186-282); dan
2) Ahmad ibn Syuayb al-Nasa'i (215-303)

Dengan keragaman redaksi matan, sebagai yang terlampir dalam bentuk matrik. Akan tetapi, sesuai dengan kebutuhan (sudah dipandang refresentatif) analisis hanya dilakukan kepada hadits-hadits yang bersanadkan: 1) `Abd Allah ibn `Umar; 2) `Abd Allah ibn `Abbas; dan Abu Hurayrah.

Riwayat bi al-Ma`na atau al-Ziyadah `an al-Rawi; Penafsiran Rawi Al-Hadits

Dengan melihat struktur redaksi yang demikian beragam, mengindikasikan bahwa dalam periwayatan hadits-hadits tersebut terjadi riwayat al-hadits bi al-ma`na. Hal ini berarti, terjadi intervensi subjektivitas rawi.
Dalam hal ini, terjadi dua hal:
  1. struktur redaksi semata, karena adanya perbedaan tarikh mutun al-haditsmenyangkut pengalaman dan pengetahuan rawi terhadap hadits yang diriwayatkannya.
  2. menyakut substansi,  karena dipengaruhi oleh faham dan penafsiran (madzhab rawi).

فإن غم عليكم فأكملوا  العدة ثلاثين (الشافعي، البخاري)
Menurut penilaian Ibn `Abd al-Bar, dari hadits-hadits yang bersanadkan `Abd Allah ibn `Umar adalah matan ""فاقدروا له;
والمحفوظ في حديث ابن عمر فاقدروا له (التمهيد: 14\338)

Ulama hadits terpeta dalam 3 kelompok: 1) ada yang menolak riwayat bi al-makna secara mutlak; 2) ada yang menerima secara mutlak; dan 3) ada yang menerima secara bersyarat.
Syarat-syarat yang dimaksud terkait dengan kridibelitas rawi, terutama pengetahuan dan intelektualias rawi.

Ragam Penafsiran terhadap "Faqduru Lahu/Faqdirulah

Secara etimologis, Uqdur berarti "tetapkanlah" seperti dlm hadits istikharah "فاقدره لي ويسره", juga berarti: lihatlah dan pikirkanlah, seperti dalam hadits "فاقدرو قدر الجارية الحديثة السن" dan juga berarti sempitkanlah seperti dalam ayat "فقدر عليه رزقه"

Jumhur  : hadits tersebut bersifat  mujmal "lahu", antara hilal, bulan Sya'ban atau Ramadhan karena itu diperlukan bayan dari hadits lain yang mufassar, yakni hadits-hadits yang mengharuskan dilakukannya istikmal. Sehingga "faqduru lah" berarti istikmal bulan Sya'ban atau Ramadhan.

Ahmad ibn Hanbal: Mempersingkat (menyempitkan) masa bulan Sya'ban, sehingga menjadi 29 hari.

Sebagian Fuqaha Bashrah: Mengamati, meneliti dan menghitung-hitung posisi bulan.

Ibn Syurayj dari Syafi'iyah: Faqduru lahu dan Istikmal memiliki dua sasaran yang berbeda;
Faqduru lahu : untuk orang Khawash dengan melakukan perhitungan posisi bulan dan matahari.
Fa akmilu … : untuk orang `Awwam dengan istikmal bulan Sya'ban menjadi 30 hari

Ibn 'Umar r.a. : Jika hilal tidak terlihat karena mendung pada malam 30 Sya'ban, esok harinya ia berpuasa. Akan tetapi jika hilal tidak terlihat sedangka cuaca cerah, esok harinya belum berpuasa, puasa baru dilakukannya lusa hari (istikmal).

قال نافع فكان عبد الله إذا مضى من شعبان تسع وعشرون يبعث من ينظر فإن رؤى فذاك وإن لم ير ولم يحل دون منظره سحاب ولا قتر أصبح مفطرا وإن حال دون منظره سحاب أو قتر أصبح صائما
  • راوي الحديث يفي المتقدم وعمله به تفسير له
  • عن عائشة أنها قالت : لان أصوم يومأ من شعبان أحب إلي من أن أفطر يوما من رمضان
  • العبرة برأي الراوي لا بروايته لزم الاخذ به كالحنفية

Rukyat atau Istikmal v.s. Hisab Kriteria Wujud al-Hilal

Menurut jumhur fuqaha, sekalipun awal bulan itu dapat diketahui melalui proses perhitungan dan bantuan peralatan teknologi, namun untuk menentukan waktu-waktu peribadatan (puasa dan haji) hanya boleh dengan cara rukyat saja.
Òarf lam dalam matn hadis “èûmû li ru’yatih" adalah “li al-ta‘lîl” sehingga dipahami menjadi berpuasalah kalian “karena” melihat hilal. Keterlihatan hilal menjadi ‘illat (sabab al-hukmi) adanya keharusan berpuasa dan berbuka (‘îd al-fiùri), sebagai yang ditegaskan oleh al-Mubarakfuri[1]
قوله صوموا لرؤيته أي لأجل رؤية الهلال فاللام للتعليل والضمير للهلال على حد تورات بالحجاب اكتفاء بقرينة السياق

Redaksi matan hadits-hadits ru`yat al-hilal, taqdir dan istikmal, dalam perspektef Ushul al-Fiqh (qawaid lughawiyah)  dapat dikelompokkan dalam tiga redaksi matn:
 Pertama,
صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته

Huruf “lam” pada kata “li ru’yatih” yang sebenarnya buknlah lam li al-ta‘lîl yang menunjukkan sebab.
Akan tetapi menurut Al-Ùaybi “li al-waqti, li al-tawqît”[2] dan Ibn Daqîq al-‘Id “li al-ta’qît” yang menunjukkan waktu secara majaz;. Sehingga perintah dalam hadis tersebut berarti: berniatlah berpuasa pada saat hilal sudah terlihat atau dengan kata lain berpuasa sesudah hilal terlihat. Sebaliknya, jika lam li al-ta‘lîl maka perintah tersebut lanjut Ibn Daqîq al-‘Id berarti, berpuasa sebelum hilal terlihat[3]. Analisis al-Thaybi atau Ibn Daqiq al-Id tersebut, didukung oleh keberadaan hadits-hadits lain yang menggunakan redaksi matan yang bervariasi dan tidak menggunakan huruf “lam”, sebagai yang sudah disebutkan di atas. Redaksi yang kurang lebih sama, terdapat pula dalam perintah shalat:
ÉOÏ%r& no4qn=¢Á9$# Ï8qä9à$Î! ħôJ¤±9$# 4n
Jika hadits-hadits di atas dipahami sebagai perintah (tidak langsung) melihat hilal untuk mengetahui waktu dimulai dan diakhiri berpuasa, maka ayat tersebut pun merupakan perintah untuk melihat matahari untuk mengetahui waktu-waktu shalat.
Dengan demikian, keterlihatan hilal sama sekali tidak menjadi sabab al-hukmi berpuasa atau berlebaran, melainkan hanyalah pertanda waktu saja.
Jika keterlihatan hilal bukan sabab al-hukm, lalu apa yang sesungguhnya yang menjadi sabab yang mengharuskan bepuasa atau berbuka itu? Bukankah setiap perbuatan hokum di samping memiliki syarth al-hukm juga memiliki sabab al-hukm? Jika hadits-hadits tersebut, dipahami secara utuh maka yang menjadi sabab al-hukm adalah keberadaan (wujûd al-hilâl). Pada saat dilakukan istikmâl, hilal tidak terlihat, tetapi berpuasa atau berbuka (hari raya) sudah wajib karena hilal (pertanda bulan baru) sudah dapat dipastikan (diyakini) sudah wujud; sudah terjadi perpindahan bulan, dari bulan Ramadhan ke bulan Syawal. Kepastian itu diperoleh, karena tidak ada tanggal/hari ke-31 pada bulan-bulan Qamariyah, sesuai dengan ketetapan Allah dan Rasul-Nya.  Jadi dengan demikian yang menjadi sabab al-hukm adalah wujûd al-hilâl bukan ru’yat al-hilal. Hal ini sejalan dengan pengertian sabab al-hukmi menurut Ushul fiqh,
ما يلزم  من وجوده الوجود ومن عدمه العدم لذاته[5]
atau dalam rumusan yang lebih jelas:
ما يستلزم من وجوده وجود الحكم ومن عدمه عدم الحكم

Sedang untuk dapat mengetahui waktu-waktu itu, saat ini tidak harus dengan ru`yat saja.Ru’yat al-hilal hanyalah salah satu cara untuk mengetahui waktu, bukan substansi atau bagian integral dari ibadah shaum, sama halnya dengan melihat matahari untuk mengetahui waktu-waktu shalat.
Kedua,
إذا رأيتم الهلال فصوموا وإذا رأيتموه فأفطروا
Keterlihatan hilal sebagai yang disebut dalam matan hadits di atas, bukanlah syarth al-hukm (syarat wajib berpuasa atau berbuka), sekalipun diawali dengan kata “idza”. Karena kelanjutan dari matan hadits tersebut menjelaskan sekalipun hilal tidak terlihat,  manakala bulan sudah 30 hari menjadi wajib berpuasa atau berbuka. Jika keterlihatan hilal itu menjadi syarat, niscaya ketika tidak terlihat tidak ada kewajiban berpuasa atau berbuka, sebagai yang ditegaskan al-Qarafi bahwa yang disebut syarat itu,
بأن الشرط يلزم من عدمه العدم ولا يلزم من وجوده وجود ولا عدم لذاته
atau dalam rumusannya yang sederhana:
مالا يستلزم من وجوده وجود الحكم و يستلزم من عدمه عدم الحكم

Ketiga,
لا تصوموا حتى تروا الهلال ولا تفطروا حتى تروه فإن غم عليكم فأكملوا العدد العدة ثلاثين
Dengan matan hadits ini pun, tidak dapat dipahami sebaliknya (dalalah mafhum mukhalafah) karena ada kata “hatta”  (mafhum ghayah); manakala hilal belum terlihat menjadi tidak wajib berpuasa dan berbuka. Karena pemahaman sebaliknya bertentangan dengan penjelasan dari  kelanjutan matan tersebut yang secara langsung dan tegas  menunjukkan (dalalah manthuq) sekalipun tidak terlihat manakala bilangan bulan sudah tiga puluh (hasil istikmal), tidak bisa tidak kecuali harus berpuasa atau berbuka.
Mengingat keterlihatan hilal itu bukan sebab dan juga bukan syarat keharusan berbuka dan berpuasa, tetapi yang menjadi sebab itu adalah keberadaan hilal (wujud al-hilal), maka kriteria hisab pun tidak harus “dianalogkan” dengan ru`yatul hilal dengan menetapkan kriteria imkan al-rukyat. Itulah sebabnya, kriteria hisab yang diambil oleh Muhammadiyah adalah kriteria wujûd al-hilâl.



[1] Muhammad ‘Abd al-Raòmân ibn ‘Abd al-Raòîm al-Mubarakfuri. Tuòfaú al-Aòwaíi bi Šarò Jâmi‘ al-Turmuíî. (Bayrût: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah. t.th.) (10 Juz).

[2] ‘Abd al-Rauf al-Manawi. Fayæ al-Qadîr Šarò al-Jâmi‘ al-Èagîr. (Mièr: Al-Maktabaú al-Tijâriyaú al-Kubra. 1356). Cetakan Pertama. (6 Juz). Juz IV. hlm. 214.

[3]Lihat Taqiy al-Dîn Abû al-Fatò ibn Daqîq al-‘Îd, Iòkâm al-Aòkâm Šarò ‘Umdaú al-Aòkâm, (Bayrût: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyaú, t.th.) Juz ii, hlm. 205-207; Muhammad ibn ‘Ali al-Šawkânî,Nayl al-Awùâr Šarò Muntaqâ al-Aóbar, (Bayrût: Dâr al-Jayl. 1973), Juz IV, hlm. 264, 351.

[4] Q.S. al-Isra [17]: 78. uraian dan penjelaannya lihat: Tafsîr al-Bayæawî, Juz III/hlm. 80; Juz III/hlm. 462; juz V/hlm 348. Tafsîr Abî Su‘ûd, Juz V/hlm: 189; Tafsîr Rûò al-Ma‘ânî, Juz IIi/hlm 131; Juz XV/hlm 132.

[5] Lihat: `Abd Allah ibn Ahmad ibn Qudamah al-Maqdisi. Rawdhah al-Nadhir. Al-Riyadh: Jami`ah al-Imam Muhammad ibn Su`ud.1399. Cetakan Kedua. Hlm. 57. C.f. `Ali ibn `Abd al-Kafi al-Subki. Al-Ibhaj. Bayrut: Dar al-Kutub al-`Ilmiyah.1404. Cet. Pertama. Juz I. Hlm. 206.